Kamis

FIQIH THAHARAH

BAB 1
BERSUCI (THAHARAH) DAN BERBAGAI MACAM AIR


Thaharah (kebersihan atau kesucian) lahiriah dan batiniah adalah sesuatu yang amat dipentingkan dalam ajaran Islam. Firman Allah SWT : “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang suka bertaubat dan yang suka menyucikan diri..” (QS Al-Baqarah [2]: 222). Sabda Nabi Saw., “Kebersihan adalah setengah bagian keimanan. (HR Muslim dan Tirmidzi). Sabda beliau pula, “Sesungguhnya Allah adalah Mahabaik lagi menyukai kebaikan. Dia adalah Mahabersih lagi menyukai kebersihan. Dia adalah Mahadermawan lagi menyukai kedermawanan. Maka bersihkanlah halaman rumah-rumah kalian, dan jangan menyerupai kaum Yahudi.” (HR Tirmidzi)
Dalam istilah Fiqih (ilmu yang membicarakan tentang hukum-hukum Islam), Thaharah meliputi dua bagian : yaitu Thaharah lahiriah dan Thaharah hukmiyah.
  1. Thaharah lahiriah, atau disebut ‘suci dari najis’, meliputi kebersihan tubuh, pakaian dan tempat salat dari segala suatu yang najis; yakni yang dianggap kotor oleh agama (Tentang zat-zat najis, akan diuraikan kemudian).
  2. Thaharah hukmiyah, atau yang disebut ‘suci hari hadats’, meliputi wudhu dan mandi wajib.
‘Hadas kecil’ ialah keadaan tubuh seseorang yang menyebabkan ia tidak boleh shalat, tawaf dan sebagainya, sebelum berwudhu. Sedangkan ‘hadas besar’ (atau janabat) ialah keadaan tubuh seseorang yang menyebabkan ia tidak boleh salat, membaca Al-Quran dan sebagainya, sebelum ia mandi.

Macam-macam Air dan Pembagiannya
Alat utama untuk bersuci dari najis dan bersuci hari hadats, adalah air bersih. Untuk mengetahui apa saja yang dimaksud dengan ‘air bersih’, di bawah ini akan diuraikan lebih lanjut.
1.  Air yang suci dan menyucikan. Yaitu  air yang masih asli dan belum berubah warnanya, baunya dan rasanya. Contohnya : air hujan, air laut, air sumur, air danau dan sebagainya. Semua air tersebut adalah Suci dan menyucikan. Suci, karena boleh diminum; dan menyucikan, karena boleh digunakan untuk berwudhu, mandi wajib atau menyucikan kembali sesuatu yang telah tersentuh najis
2.  Air yang suci tetapi tidak menyucikan. Yaitu air bersih yang telah bercampur dengan suatu zat yang suci, sedemikian rupa sehingga warnanya atau baunya atau rasanya sudah tidak lagi disebut air biasa (atau air mutlak dalam fiqih). Contohnya: air teh, air kopi, air gula, dan sebagainya. Air seperti itu, walaupun suci (boleh diminum) namun tidak menyucikan. Yakni tidak sah digunakan untuk wudhu atau mandi wajib, karena telah mengalami perubahan cukup besar dalam warna atau bau atau rasanya.
Dikecualikan dari ini, perubahan yang terjadi atas air yang disebabkan oleh sesuatu yang memang tidak terpisahkan darinya. Misalnya, perubahan warna, bau, dan rasa pada air yang lama tergenang, atau mengalir di antara batu belerang, atau karena ikan-ikan di dalamnya, atau sesuatu yang sulit dicegah, seperti daun-daun yang berjatuhan dari pohon-pohon sekitar air tersebut. Air seperti ini, walaupun telah mengalami perubahan, namun tetap dianggap suci dan menyucikan.

Termasuk juga dalam kategori air yang suci dan menyucikan, air yang dalam istilah ilmu fiqih disebut air musta’mal. Air musta’mal adalah ‘air sedikit’ bekas dipakai untuk bersuci (berwudhu atau mandi wajib). Air seperti ini, masih tetap boleh digunakan lagi untuk bersuci, selama tidak mengalami perubahan dalam salah satu dari ketiga sifat utamanya (yakni warnanya, baunya dan rasanya).
*Ketentuan tentang ‘air sedikit bekas pakai’ (atau air musta’mal) seperti di atas, adalah sesuai dengan madzhab Malik, Daud Azh-Zhahiri dan juga sebagian kecil dari kalangan madzhab Syafi’i. Sedangkan mayoritas ulama madzhab Syafi’i, demikian pula Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa air seperti itu meski tetap suci namun tidak sah digunakan untuk berwudhu atau mandi wajib.
Adapun yang dimaksud dengan air sedikit tersebut di atas, menurut Syafi’i, adalah yang kurang dari ‘dua qullah’. (yakni kurang dari 200 liter)- {1 drum –red}. Atau menurut madzhab Hanafi, ‘air sedikit adalah yang apabila salah satu ujungnya digerakkan, ujung lainnya ikut bergerak’. Berdasarkan pendapat ini, jika seseorang hendak berwudhu dengan ‘air sedikit’ seperti itu, sebaiknya menggunakan gayung untuk mengambil air tersebut, lalu menuangkannya di atas anggota yang harus dibasuh.
Dari kedua pendapat tersebut, dapat disimpulkan betapa perlunya menjaga kebersihan air, tertama yang hanya sedikit, sehingga tidak menghilangkan kekuatan ruhaniah air dalam menyucikan seseorang, baik secara lahiriah maupun bathiniah.
3.  Air yang tersentuh benda atau zat najis. Air seperti ini, banyak ataupun sedikit, tetapi dinilai  suci dan menyucikan selama tidak rusak salah satu dari ketiga sifatnya yang asli (yakni warna, bau dan rasanya).
Begitulah sesuai deengan mazhab Malik, Al-Auza’iy, Sufyan Ats-Tsaury, Daud dan Ibnu Mundzir (salah seorang tokoh dari mazhab Syafi’i). Dan begitu pula pilihan Al-Ghazali dalam Al-Ihya; dan Ar-Ruyaniy dalam Al-Hilyah dan Al-Bahr.
Akan tetapi, menurut mayoritas mazhab Syafi’i, hukum seperti itu hanya berlaku pada air yang melebihi dua qullah (atau lebih dari 200 liter). Sedangkan jika air hanya sedikit (yakni kurang dari 200 liter), maka jika tersentuh zat najis, secara otomatis air tersebut dianggap najis, walaupun tidak mengalami perubahan apa pun. Dalil mereka hadis Nabi Saw., “Apabila air mencapai dua qullah, maka ia tidak terpengaruh oleh sesuatu yang najis.” (HR. Syafi’i, Ahmadn, dan Tirmidzi). Kesimpulan yang dapat ditarik dari hadis ini ialah, apabila air itu kurang dari dua qullah, maka ia menjadi najis jika tersentuh zat najis walapun tidak mengalami perubahan. (Lihat An-Nawawi, Al-Majmu II/161)




BAB 2 – 1.
ZAT-ZAT NAJIS DAN CARA MENCUCINYA


1.  Zat-zat Najis
Setiap Muslim hendaknya sedapat mungkin menghindari benda-benda atau zat-zat najis. Yakni segala suatu yang kotor atau menjijikkan, menurut agama. Akan tetapi, jika terkena juga suatu benda atau zat najis, terutama pada tubuh, pakaian, atau tempat shalat, wajiblah ia membasuh dan menyucikannya kembali.
Pada dasarnya, semua zat atau benda adalah suci (bersih) kecuali yang dinyatakan najis oleh syariat. Di antaranya, bangkai, darah, dan daging babi, seperti tercakup dalam Al-Quran, QS. Al-Maidah [5]:3.
1.  Bangkai.                                        
Yakni hewan yang mati dengan sendirinya (tidak disembelih menurut aturan dan persyaratan syariat). Termasuk dalam hal ini, bagian dari tubuh hewan (misalnya punuk atau ekor sapi) yang dipotong ketika hewan itu masih hidup. Semua bangkai najis kecuali :
a.    Bangkai Ikan dan belalang. Demikian pula semua bangkai serangga yang tidak berdarah mengalir. Seperti semut, nyamuk, lebah dan sebagainya. Sabda Nabi Saw. Ketika ditanya tentang laut, “Itu dia (laut) yang suci airnya, dan halal bangkainya.” (HR Bukhari dan Muslim). Dan juga sabda beliau, “ Dihalalalkan untuk kita dua jenis bangkai :ikan dan belalang; dan dua jenis darah : Hati dan limpa (HR Ahmad, Syafi’I, Ibnu Majah dan Al-Baihaqiy).
b.    Kulit bangkai setelah disamak, kecuali kulit anjing dan babi.
c.     Tulang, tanduk, kuku, rambut, dan bulu bangkai (yakni bagian-bagian tubuh yang tidak bernyawa). Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, II/22. Menurutnya, tidak ada dalil bahwa semua itu najis. Kata Az-Zuhri tentang tulang binatang yang sudah mati, “Aku menyaksikan beberapa orang di antara ulama terdahulu menggunakannya sebagai sisir, atau sebagai tempat minyak (untuk meminyaki tubuh atau rambut mereka). Mereka tidak melihat ada keberatan apapun tentangnya.” (Demikian menurut Al-Bukhari) Namun Mazhab Syafi’I menganggap tulang, kuku, bulu dan rambut yang berasal dari bangkai, semua itu adalah najis. (pen)
d.    Susu serta anfihah (air dadih yang digunakan dalam pembuatan keju) yang berasal dari bangkai. Anfihah atau Infihah ialah bahan penggumpal berbentuk enzim digunakan dalam pembuatan keju; disebut rennet, whey, atau pepsin. Adakalanya diekstrak dari lambung anak sapi, disebut calf rennet; dan ada juga dari lambung babi, disebut porcin pepsin. (Simber : Munir Ba’labakkiy, Al-Maurid, cet. 1997; dan majalah Ummat no 39, 20 April 1998, hlm 77).  Menurut Sayyid Sabiq, ketika para sahabat nabi berhasil menaklukkan negeri Persia, mereka ikut makan keju buatan kaum Majusi yang menngunakan Anfihah. Sedangkan hewan sembelihan mereka dianggap sama saja dengan bangkai. Salam Al-Farisi pernah ditanya tentang keju, samin dan baju kulit, lalu jawabnya, “Sesuatu yang halal adalah yang dihalalkan Allah dalam Kitab-Nya. Sedangkan sesatu yang haram adalah yang diharamkan Allah dalam Kitab-Nya. Adapaun  yang tidak disebut-sebut oleh-Nya, maka itu termasuk hal yang dimaafkan bagimu. “Tentunya dimaklumi pertanyaan tersebut berkaitan dengan keju orang-orang Majusi, ketika Salman menjabat wakil Umar bin Khattab di Madain (Fiqh As-Sunnah I/23).  An-Nawawi menyebut dalam Al-Majmu’, bahwa menurut mazhab Syafi’I, susu yang berasal dari binatang yang dagingnya tidak halal di makan, adalah najis juga. Adapun anfihah yang diambil dari anak domba sesudah mati, atau dari yang disembelih setelah makan makanan selain susu, maka hukumnya tidak najis. Sebab, para salaf tidak keberatan makan keju yang menggunakan anfihah seperti itu. Seperti itu pula pendapat Malik dan sebagian ulama Hambali mengenai anfihah yang diambil dari hewan setelah mati. Sedangkan menurut Abu Hanifah dan sebagian ulama Hambali lainnya, anfihah seperti itu, hukumnya suci (tidak najis); sama seperti pendapat mereka tentang tidak najisnya telur yang dari hewan yang sudah mati. (Berdasarkan pendapat yang menghalalkan keju yang dalam pembuatannya menggunakan anfihah berasal dari bangkai, seperti tersebut di atas, dapatkah kita meng-qiyas-kan anfihan atau pepsin yang berasal dari  babi [seperti yang konon banyak digunakan perusahaan keju di luar negeri] dengan yang dari bangkai?! Mungkin hal ini perlu menjadi bahan ijtihad para ulama kita yang kompeten.

 2.  Darah.   Segala macam darah, termaskjuga nanah, adalah najis. Dikecualikan dari ini (atau dimaafkan) :
a.    Sisa darah yang berada di dalam daging, urat-urat dan tulang hewan yang telah disembelih; atau darah ikan. Demikian pula darah yang tampak dalam periuk ketika memasak daging.
b.    Darah atau nanah yang berasal dari bisul atau luka orang itu sendiri (bukan dari luka orang lain, kecuali sedikit saja)
c.     Darah nyamuk, kepinding, kutu kepala dan sejenisnya (yakni yang tidak berdarah mengalir).

3.  Daging babi.
Sesuai dengan ayat Al-Quran di atas (QS. Al-Ma’idah [5]:3), semua ulama sepakat bahwa daging babi adalah najis. Demikian pula tentang najisnya binatang babi secara keseluruhan. Kecuali mazhab Malik yang berpendapat bahwa babi dalam keadaan hidup- seperti juga binatang-binatang lainnya-adalah suci (tidak najis). Menurut An-Nawawi (dari kalangan mazhab Syafi’i, dalam bukunya: Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadz-dzab), “tidak ada dalil jelas tentang najisnya babi dalam keadaan hidup.”
4.  Anjing.
Menurut Syafi’i, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal, anjing adalah najis berdasarkan makna yang dapat dipahami dari hadis Nabi Saw. “Apabila anjing menjilati bejana (tempat makan minum) salah seorang dari kamu, hendaklah ia membuang isinya dan mencuci bejana itu sebanyak tujuh kali, yang pertama dengan (campuran) tanah.” (HR. Muslim).  Akan tetapi Malik, Daud dan Az-Zuhriy berpendapat bahwa anjing adalah binatang suci (yakni tidak najis), sama seperti binatang-binatang lainnya. Adapun kewajiban mencuci bejana yang dijilati anjing sebanyak tujh kali, merupakan sesuatu yang bersifat ta’abbudi, yakni sebagai perintah yang wajib diikuti berdasarkan hadis yang disahihkan, meski tidak diketahui hikmahnya. Tetapi hadis tersebut tidak cukup menunjukkan kenajisan binatang anjing secara keseluruhan. Mereka juga berdalil dengan fiman Allah tentang binatang buruan yang ditangkap oleh anjing yang sudah terlatih untuk berburu: “… Dihalalkan bagi kamu (makanan) yang baik-baik, demikian pula (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajari (dengan melatihnya untuk berburu).  Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kamu… “(QS Al-Maidah[5]:4). Dalam ayat tersebut- kata mereka-tidak ada sebutan tentang kewajiban mencuci bagian yang terkena gigitan binatang (termasuk anjing pemburu) itu. Mereka juga berdalil dengan hadis dari Ibnu Umar R.a. bahwa “anjing-anjing datang dan pergi dalam masjid, di masa hidup Rasulullah Saw; tak seorang pun merasakan suatu keberatan tentang itu.” (HR Bukhari). Oleh sebab itu, persentuhan dengan anggota tubuh anjing, selain yang berkaitan dengan jilatannya dalam bejana, tidak menyebabkan najis.
Pendapat Imam Malik, Daud dan Az-Zuhriy ini seperti tersebut di atas, tentunya sangat meringankan, dapat diikuti dalam pelbagai keadaan yang memaksa. Misalnya di jalan raya dan tempat-tempat umum, terutama di daerah-daerah tertentu yang mayoritas penduduknya terdiri atas masyarakat non-Muslim dan sebagainya. Namun, mengingat banyaknya mazham serta ulama yang bahkan menganggap najis dari anjing dan babi sebagai najasah mughallazhah (sangat pekat)- yang tentunya juga berdasarkan pemahaman mereka terhadap dalil-dalil yang menyakinkan-maka tidak sepatutnya kita memelihara anjing di rumah untuk bermain-main dengannya, apalagi membiarkannya makan dan minum dari tempat-tempat makan dan minum yang biasa kita gunakan untuk diri kita sendiri dan keluarga kita. Kecuali, misalnya, memelihara anjing semata-mata untuk menjaga rumah, perusahaan dan sebagainya, sambil memisahkannya dari kegiatan kita sehari-hari. (Lihat pembahasan tentang ini, antara lain dalam An-Nawawi, Al-Majmu’ II/519; Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala’l-Madzahib Al-Arba’ah, I/11; Rahmat Al-Ummah, hlm 7 dan lain-lain). Sebagai tambahan silakan baca kembali pengalaman Sayyid Ahmad Zainiy Dahlan, Mufti mazhab Syafi’I, dalam Kata pengantar buku ini, ketika bajunya sobek karena gigitan anjing, namun ia tetap melaksanakan shalat dengan bajunya itu, karena mengikuti mazhab Imam Malik. –Pen.

5.  Segala cairan yang keluar dari kedua ‘pintu pelepasan’. (qubul dan dubur),
seperti kencing dan kotoran (tinja) manusia dan hewan. Termasuk dalam hal ini, wadi (cairan kental berwarna putih yang adakalanya keluar setelah kencing) dan madzi (cairan licin berwarna putih yang adakalanya keluar ketika menghkhayalkan hubungan seksual, atau ketika melakukan persentuhan-persentuhan yang menimbulkan syahwat antara laki-laki dan perempuan). Keluarnya wadi dan mazdi hanya membatalkan wudhu (seperti kencing) dan jika mengenai pakaian, cukup diperciki air saja, berdalilkan beberapa hadis Nabi Saw tentang hal itu.
Dikecualikan dari cairan-cairan najis tersebut di atas
1.    Mani (sperma) manusia.  Mani atau sperma (dari manusia atau hewan selain anjing dan babi) adalah suci (tidak najis) menurut mazhab Syafi’I dan Ahmad bin Hanbal. Tetapi najis menurut mazhab Malik dan Abu Hanifah.
2.    Kencing dan kotoran hewan yang dagingnya halal dimakan seperti domba, sapi dan sebagainya. Begitulah menurut mazhab Malik dan Ahmad bin Hanbal serta sebagian ulama mazhab Syafi’I (di antaranya Ibnu Khuzaimah, Ar-Ruyani dan Al-Istakhri). Akan tetapi mayoritas ulama mazhab Syafi’I selain merkea, menganggapnya najis. (Lihat Taqiyyuddin Ad-Dimasyqiy Asy-Syafi’I, Kifayat Al-Akhyar, I/40, Slaiman Mar’I Singapore, Tanpa tahun; dan An-Nawawi, Al-Majmu’ II/503)
3.    Kotoran burung termasuk najis yang dimaafkan, karena sulit pencegahannya.

6.  Muntahan. Yakni makanan atau minuman yang keluar kembali melalui mulut setelah mencapai alat pencernaan dalam perut. Kecuali sedikit cairan yang keluar dari mulut seseorang yang sedang tidur. Adapun air liur, ingus dan dahak, semuanya tidak najis.

7.  Khamr (minuman keras yang memabukkan). Khamr adalah najis menurut mayoritas ulama, berdalilkan firman Allah SWT., “Sesungguhnya khamr, perjudian, berhala-berhala dan panah-panah (untuk mengadu nasib) adalah rijs, termasuk perbuatan setan… (QS. Al-Maidah:90). Mereka mengartikan kata rijs sama dengan najis. Akan tetapi, diriwayatkan bahwa Rabi’ (guru Imam Malik) serta Daud Azh-Zhahiri berpendapat bahwa khamr (yaitu perjudian, berhala-berhala dan panah untuk mengadu nasib) tidak mungkin berkaitan dengan najis hakiki atau inderawi. Karenanya, meskipun minum khamr disepakati sebagai perbuatan haram, namun tidak berarti bahwa zat khamr itu sendiri harus dianggap najis. Demikian pula, makanan dan minuman memabukkan lainnya, seperti candu, kokain dan sebagainya; haram memakannya meskipun tidak najis zatnya. (Baca Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, jilid I, hlm 27, kutipan dari Subul As-Salam). Berdasarkan ini, kita dapat menyatakan bahwa minyak wangi yang tercampur dengan alcohol, tidak najis, demikian pula politer yang tercampur dengan spiritus dan sebagainya.









BAB 2 – 2.
CARA MENCUCI BENDA YANG TERKENA NAJIS


1.    Pakaian Atau Anggota Badan Yang Terkena Zat Najis.  Pakaian atau anggota badan yang terkena najis, wajib dicuci dengan air bersih (air yang suci dan menyucikan), sedemikian rupa sehingga zat najis itu hilang warnanya, baunya dan rasanya. Jika, setelah cukup dicuci, masih juga ada sedikit warna atau bau  yang sukar dihilangkan, hal itu dimaafkan.
2.    Zat Najis Yang Tidak Tampak. Bila zat najis itu tidak tampak; seperti kencing yang sudah lama kering, sehingga telah hilang tanda-tandanya atau sifat-sifatnya, cukup mengalirkan air di atasnya, walaupun hanya satu kali saja.
3.    Bejana Yang Terkena Jilatan Anjing. Bejana (tempat makan, minum atau alat memasak, seperti piring, gelas dan periuk) yang bagian dalamnya terkna jilatan anjing, dibasuh tujuh kali, yang pertama atau salah satunya dicampur dengan tanah. Boleh juga menggantikan tanah dengan sabun, atau pembersih lain yang kuat. *Menurut pendapat Mahmud Syaltut, mantan Syaikh Al-Azhar di Mesir, ketentuan pencucian bejana yang dijilati anjing, sebanyak tujuh kali, satu di antaranya dengan air bercampur tanah, tidak harus dipahami secara harfiah. Yang penting, mencucinya beberapa kali sedemikian rupa sehingga diyakini bejana tersebut telah bersih dari air liur anjing. Demikian pula tanah dapat diganti dengan sabun atau pembersih lainnya yang kuat (Lihat Al-Fatawa, hlm 86). Benda-benda selain bejana, demikian pula anggota badan seseorang atau pakaiannya, jika tersentuh anjing, wajib mencucinya sampai benar-benar bersih walaupun hanya satu kali saja jika dengan itu dapat menjadi bersih kembali. Seperti telah diketahui, menurut mazhab Imam Malik, persentuhan antara anjing dengan tubuh atau pakain atau apa saja, selain jilatannya dalam alat makan dan minum, tidak dianggap najis, sebagaimana telah dijelaskan ketika membahas tentang zat apa saja yang dianggap najis.
4.    Benda Yang Tersentuh Babi. Untuk menyucikan sesuatu yang tersentuh babi, cukup dengan membasuhnya satu kali saja dengan air, tanpa tanah, apabila dianggap sudah cukup bersih kembali (sama seperti najis-najis lainnya). Sebagaiman telah dijelaskan sebelum ini, sebagian besar ulama mazhab Syafi’I menyamakan babi dengan anjing, dan karenanya mewajibkan penyucian sesuatu yang tersentuh atau terjilat babi, sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan air bercampur tanah. Tetapi An-Nawawi (dari mazhab Syafi’i juga) menegaskan bahwa jika ditinjau dari segi dalilnya, cukup mencucinya satu kali saja tanpa tanah. Ia menambahkan, “Begitulah pendapat sebagian besar ulama yang menyetujui najisnya babi. Dan pendapat inilah yang menjadi pilihan, mengingat tidak ada sesuatu yang wajib kecuali jika telah ditentukan oleh syariat. “ (Al-Majmu’ II/537). Adapun pendapat Imam Malik tentang hal ini seperti telah kita ketahui –lebih meringankan lagi. Yaitu bahwa babi dalam keadaan hidup, adalah suci (tidak najis); sama saja seperti binatang-binatang lainnya. Karenanya, tidak wajib mencuci apa saja yang tersentuh dengannya ketika masih dalam keadaan hidup.
5.    Cara Menyucikan Kencing Bayi.  Kencing bayi (laki-laki atau perempuan) berusia di bawah dua tahun dan tidak makan makanan selain air susu manusia (baik dari ibunya sendiri maupun seorang wanita selainnya), cukup diperciki air bersih di atasnya dan sedikit lagi di sekitarnya. *Dalam Shahih Muslim, disebutkan sebuah riwayat dari Aisyah r.a. bahwa, “Adakalanya bayi-bai dibawa ke hadapan Rasulullah Saw., untuk diberkati (didoakan) dan diolesi sedikit kurma di mulutnya oleh beliau. Seorang dari mereka pernah kencing di pangkuan beliau, lalu beluau memerintahkan agar dipercikkan air di atasnya dan tidak perlu dicuci. Dalam Hadis ini tidak disebutkan apakah bayi-bayi itu laki-laki atau perempuan. Karenanya, menurut pengaran kitab Jam’ul Jawami, Asy-Syafi’I tidak keberatan apabila keringanan tersebut juga diterapkan atas kencing bayi perempuan. Hal ini, kata Al-Baihaqiy, mungkin disebabkan karena tidak ada hadis lainnya dalam masalah ini, yang memenuhi persyaratan untuk disahihkan oleh Asy-Syafi’i. Walaupun demikian, cukup banyak ulama lainnya mengkhususkan keringanan ini hanya bagi bayi laki-laki saja, berdasarkan sebuah ‘hadis’ lain yang pernah dirawikan oleh Abu Daud : “Kencing bayi perempuan dicuci, sedangkan kencing banyi laki-laki cukup dipercikkan (air) di atasnya “  Lihat An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarb A-Muhadzdzab, jilik II, hlm 541).
6.    Tanah Yang Terkena Najis. Untuk menyucikan tanah yang terkena najis, cukup dengan menuangkan air di atasnya, sehingga meliputi tempat najis tersebut. Tanah, pohon dan bangunan yang terkena cairan najis, dapat diangap suci kembali apabila cairan itu telah mongering. Tetapi jika najis itu berupa zat beku, maka tidak akan suci kembali kecuali zat najis tersebut telah hilang atau dihilangkan
7.    Mentega Yang Terkena Najis. Mentega, minyak yang beku dan serupa dengan itu, apabila terkena zat najis (misalnya, kejatuhan bangkai cicak dan sebagainya) cukup dibuang  bagian yang terkena najis tersebut dan sekitarnya saja. Sisanya tetap boleh dimakan. Akan tetapi, jika najis itu menyentuh bahan makanan yang cair, seperti minyak goreng misalnya,maka semuanya menjadi najis. Kecuali jika zat najis itu sangat sedikit atau  minyak tersebut sangat banyak sedemikain rupa sehingga tidak mengalami perubahan sedikit pun, baik warna, rasa dan baunya.
8.    Kaca, Pisau, dan Keramik. Untuk membersihkan kaca, pisau, pedang, keramik, dan segala benda  yang permukannya licin seperti itu, apabila terkena najis, cukup dengan mengusapnya sehingga hilang bekas-bekas najis tersebut.
9.    Sepatu dan Sandal. Bagian bawah sepatu, sandal dan sebagainya, apabila terkena najis, cukup dibersihkan dengan cara menggosokkannya ke tanah sehingga hilang zat najis darinya.
10. Tali Jemuran. Tali jemuran yang pernah digunakan untuk menjemur pakaian yang terkena najis,dapat dianggap suci kembali jika telah mongering, baik karena panas matahari atau hembusan angin.
11. Tetasan Air Yang Meragukan. Apabila seseorang terkena tetasan atau percikan air yang tidak jelas najis atau tidaknya, maka tidak wajib menanyakan hal itu dan tidak pula mencucinya. Akan tetapi jika ia telah diberitahu oleh orang terpercaya bahwa air itu adalah najis, maka wajib menyucikannya.
12. Pakaian Yang Terkena Lumpur Jalanan. Pakaian yang terkena lumpur jalanan, tidak harus dicuci walaupun jalanan tersebut biasanya terkena najis. Kecuali jika ia yakin bahwa yang mengotorinya itu zat najis.
13. Melihat Najis di Pakaian Setelah Selesai Shalat. Jika seseorang telah menyelesaikan salatnya, lalu melihat najis di pakaian atau tubuhnya, sedangkan sebelum itu ia tidak mengetahuinya, atau telah mengetahui tetapi terlupa maka ia hanya wajib mengulangi salatnya yang terakhir saja. Yakni sebelum mengetahui adanya najis tersebut.
14. Najis Yang Tidak Dikenali Tempatnya. Jika seseorang mengetahui adanya najis pada pakaiannya tetapi kini ia tidak tahu lagi di bagian manakan najis tersebut, wajiblan ia mencuci semuanya, karena hanya dengan begitu ia dapat menyakini kesuciannya.
15. Menyamak Kulit Bangkai. Kulit bangkai, selain anjing dan babi, dapat menjadi suci setelah melalui proses  penyamakan.   Nomor 1.2,5,6 sampai dengan 15 lihat antara lain : Sayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, jilid I, hlm 24 s.d 29; Taqiyyuddin Ad-Dimasyqiy, Kifayat Al-Akhyar, Bab Atu-Thaharah; dan An-Nawawiy, Al-Majmu’ Syarh Al mUhadzdzab, II/501
16. Menggunakan Alat-Alat Makan-Minum Orang-orang Non-Muslim. Dirawikan bahwa Abu Tsa’labah Al-Khusyani pernah bertanya, “ Ya Rasulullah, adakalanya kami berada di negeri Ahl’l-Kitab. Bolehkan kami makan dan menggunakan alat-alat makan-minum mereka?. Jawab Nabi Saw. “Jika ada yang lainnya, sebaiknya tidak menggunakan alat-alat mereka. Tetapi jika tidak da, cuculah dan kemudian makanlah.” (HR Bukhari dan Muslim). Menurut hemat saya, hadis di atas tidak mewajibkan kita mencuci sendiri alat-alat tersebut, tetapi cukup dengan adanya keyakinan bahwasi pemilik alat-alat tersebut telah mencucinya dengan air bersih sebelum digunakan kembali. Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar